Senin, 26 Maret 2012

Hilaal Jumadil Ula 1433 H untuk Indonesia, Sebuah Prediksi

Salah satu problem besar Umat Islam kontemporer, termasuk di Indonesia, adalah belum berhasilnya mendefinisikan hilaal secara komprehensif. Umumnya kita baru memperbincangkan hilaal (sekaligus meributkannya) ketika tiga waktu suci sudah menjelang : awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Perbincangan umumnya dipungkasi klaim mana yang paling akurat atau mana yang paling tepat, yang hampir semuanya hanya menjustifikasikan dirinya pada tafsir-tafsir dari teks suci tanpa dilengkapi data-data penelitian yang valid dan reliabel. Belakangan keributan bahkan menjalar lebih jauh pada klaim apakah Bulan purnama bisa dikategorikan sebagai tanggal 15 Hijriyyah atau tidak, yang lagi-lagi tanpa ditunjang data.

Apa itu hilaal? Sebagian dari kita akan menjawabnya sebagai Bulan dalam fase sabit yang paling muda. Namun apa bedanya hilaal dengan Bulan sabit? Ini yang belum dielaborasi sejauh ini. Dalam astronomi, definisi Bulan sabit amat jelas, yakni Bulan dengan fase kurang dari 50 % atau kurang dari Bulan separo. Dari definisi ini jelas hilaal merupakan aspek khusus dari Bulan sabit. Namun apa yang membuat hilaal menjadi berbeda dibandingkan Bulan sabit pada umumnya sejauh ini belum kita (baca : Umat Islam) elaborasi dan simpulkan bersama.

Pun demikian dengan teks "..fain ghumma.." dalam al-Hadis, yang diterjemahkan sebagai tertutupi. Tertutupi apa? Sebagian dari kita dengan cepat akan menjawabnya tertutupi oleh awan. Namun jawaban ini hanyalah khas Indonesia dan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya yang terletak di kawasan tropis dan atau berada di kawasan maritim. Tempat-tempat tersebut terkenal memiliki jumlah hari tutupan awan (yakni hari-hari dimana awan membentang menutupi langit) yang tinggi. Namun ternyata tidak semua tempat memiliki jumlah hari tutupan awan yang tinggi. Bahkan di kawasan beriklim gurun, jumlah hari tutupan awan sangat rendah. Padahal di kawasan beriklim gurun inilah, tepatnya di Arabia, Islam lahir dan berkembang. Di Madinah misalnya, jumlah hari tutupan awan selama setahun tidak lebih dari 10 hari. Bahkan hari hujan per tahun hanya 2 atau 3 hari. Jika hal ini diektrapolasikan ke masa kehidupan Nabi SAW dengan prinsip the present is key to the past, masih tepatkah kita menyebut fain ghumma sebagai tertutupi awan? Di sisi lain, salah satu kamus Bahasa Arab menerjemahkan fain ghumma sebagai cahaya yang tertutupi cahaya. 

Atas dasar itulah sebuah kampanye observasi hilaal diselenggarakan di Indonesia sejak 2007 dan masih berlangsung sampai sekarang. Kontributor kampanye observasi ini beragam, mulai dari astronom, astronom amatir, eksponen Badan Hisab dan Rukyat di berbagai daerah, pegawai kementerian Agama, pegiat ilmu falak, santri, mahasiswa, guru hingga pengasuh pondok pesantren yang menggabungkann diri dalam jejaring Rukyatul Hilal Indonesia (RHI). Jejaring memiliki semangat: berusaha mewujudkan penyatuan kalender Hijriyyah untuk Indonesia yang dimulai pada langkah paling mendasar : mengumpulkan data visibilitas guna membentuk Basisdata Visibilitas Hilaal Indonesia (BDVHI). Observasi dilaksanakan dengan metode yang sama dan memiliki status sama antara yang berperlengkapan bantu (binokuler, teodolit atau teleskop) maupun tidak, sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Dari ratusan data observasi yang telah masuk membentuk BDVHI yang dibedakan antara data terlihat dan tak terlihat serta diperbandingkan dengan data terseleski dari basis data internasional (seperti dari ICOP atau basis data Yallop), maka hilaal sejauh ini telah bisa didefinisikan dengan lebih pasti. Hilaal adalah Bulan pasca konjungsi yang terbenam dalam tempo antara 24 menit hingga 40 menit pasca terbenamnya Matahari. Definisi ini tetap menjadikan hilaal sebagai aspek khusus dari Bulan sabit, namun juga sekaligus memberikan batasan tegas (yang mencakup batas bawah dan batas atas) yang membedakannya dengan Bulan sabit. Dalam definisi ini maka Bulan yang terbenam kurang dari 24 menit pasca terbenamnya Matahari tidak bisa dikategorikan sebagai hilaal, melainkan harus didefinisikan ulang sebagai Bulan gelap atau mahaqq. Sementara Bulan yang terbenam lebih dari 40 menit pasca terbenamnya Matahari juga bukan hilaal, melainkan Bulan sabit. 

Dari usulan definisi ini, jika diurutkan dari saat konjungsi hingga Bulan separo, maka fase-fase Bulan memiliki nama : Konjungsi-Bulan gelap-hilaal-Bulan sabit-Bulan separo. Urutan ini lebih spesifik dan lebih memiliki arti ketimbang urutan lama : Konjungsi-Bulan sabit-Bulan separo.

Dari basis data yang sama juga telah terbentuk kriteria visibilitas baru, yang untuk sementara disebut kriteria RHI. Pada dasarnya, hilaal menurur kriteria ini adalah Bulan yang telah memenuhi minimal dua parameter dari sebuah titik-amat di permukaan Bumi, yakni memenuhi selisih tinggi minimum antara Bulan dan Matahari dan memenuhi selisih azimuth antara Bulan dan Matahari. Bertentangan dengan persepsi umum selama ini, selisih tinggi minimum Bulan dan Matahari agar terkategorikan sebagai hilaal ternhyata bervariasi mengikuti nilai selisih azimuthnya.

Jumadil Ula 1433 H

Konjungsi akan terjadi pada 22 Maret 2012 pukul 21:37 WIB. Menurut hisab urfi, 29 Rabiuts Tsani 1433 H akan bertepatan dengan 23 Maret 2012, sehingga siapapun yang berkehendak untuk melaksanakan rukyatul hilaal maupun melaksanakan perhitungan, sebaiknya melakukannya pada 23 Maret 2012 saat maghrib.

Menggunakan titik-amat Pos Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), maka pada saat maghrib 23 Maret 2012 (yang bertepatan dengan pukul 18:00 WIB), umur Bulan mencapai 20,4 jam dengan tinggi Bulan (terhitung dari titik pusat Matahari dan mengabaikan pembiasan oleh atmosfer Bumi) sebesar 4,9 derajat dengan selisih azimuth Bulan - Matahari 8,23 derajat dengan Bulan berada di sebelah utara Matahari. Plotting ke dalam kurva kriteria RHI menunjukkan Bulan tepat berada di garis batas kriteria, sehingga peluang terlihatnya Bulan pada saat itu adalah kecil. 
Plotting posisi Bulan dan Matahari terhdap garis kriteria RHI (garis putus-putus).

Kecilnya peluang terlihatnya Bulan juga dicerminkan oleh karakteristik sabit Bulan pada saat itu. Dengan lebar sabit Bulan tertebal hanya 0,24 menit busur maka panjang sabit Bulan yang bisa diamati dari Bumi (dengan memperhitungkan serapan atmosfer dan batas resolusi alat optik yang digunakan) hanyalah 4 derajat. Sedmentara analisis terhadap data dalam BDVHI menyimpulkan panjang sabit Bulan minimum agar observasi mungkin dilakukan adalah jika lebih dari 30 derajat. Sehingga angka 4 derajat tersebut masih jauh di bawah ambang batas, senyampang Bulan pada saat itu memiliki fase 0,8 %. Kecilnya peluang terlihatnya Bulan juag tercermin lagi oleh lama Bulan di atas horizon (atau selisih waktu antara terbenamnya Matahari dengan terbenamnya Bulan), yakni hanya 22 menit. Nilai ini di bawah ambang batas 24 menit. Sehingga sulit menempatkan Bulan pada 23 Maret 2012 maghrib di Pelabuhan Ratu dengan ciri-ciri demikian sebagai hilaal.
Bentuk sabit Bulan per 23 Maret 2012 saat maghrib dari Pelabuhan Ratu (Jawa Barat)

Perbandingan dengan kriteria visibilitas internasional seperti kriteria Odeh ternyata menyajikan hasil serupa. Garis batas kriteria RHI ternyata hampir berimpit dengan garis kriteria Odeh yang membatasi kawasan yang takkan dapat melihat Bulan (meski dengan alat tercanggih dan terkuat sekalipun) dengan kawasan yang hanya bisa melihat Bulan menggunakan alat bantu optik (teleskop, teodolit). Per 23 Maret 2007, hilaal hanya bisa dilihat mata tanpa alat bantu optik bagi mereka yang berada di kawasan Eropa, Afrika Utara, Amerika Utara dan Amerika Tengah.
Perbandingan kriteria RHI dan Odeh per 23 Maret 2012. A = kawasan yang tak bisa melihat Bulan dengan cara apapun, B = kawasan yang mungkin bisa melihat Bulan hanya dengan teleskop/teodolit, C = kawasan yang mungkin bisa melihat Bulan tanpa teleskop/teodolit dan D = kawasan yang mudah melihat Bulan tanpa teleskop/teodolit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar